Bayangkan ini:
Kamu dan seorang teman sedang mengikuti sesi cupping di roastery. Di depan kalian ada kopi natural Ethiopia yang harum sekali. Kamu menyeruput dan langsung menangkap aroma vanilla yang lembut di tengah rasa fruity. Temanmu? Dia mengernyit dan berkata,
“Vanilla? Aku nggak cium itu. Yang aku rasakan malah kayak herbal.”
Apakah dia “kurang peka”? Atau lidahnya belum terlatih?
Ternyata, jawabannya bisa jadi jauh lebih menarik — dan ada hubungannya dengan gen di tubuh kita.

Bau yang Sama, Otak yang Berbeda
Setiap aroma kopi berasal dari molekul kimia spesifik — misalnya guaiacol yang memberi kesan vanilla-spicy, atau linalool yang memberikan aroma lavender-bergamot. Molekul ini masuk ke hidung kita dan menempel pada reseptor penciuman di dalam rongga hidung.
Masalahnya, tidak semua reseptor diciptakan sama.
Penelitian oleh Trimmer et al. (2019) menemukan bahwa varian gen yang berbeda pada reseptor ini dapat membuat seseorang sangat sensitif terhadap suatu aroma, sementara orang lain hampir tidak merasakannya.

Gen yang Mengubah Rasa
Contohnya, reseptor bernama OR10G9 bereaksi kuat terhadap guaiacol — molekul yang sering muncul di kopi hasil proses fermentasi tertentu. Kalau kamu memiliki varian OR10G9 yang “tajam”, vanilla akan terasa jelas. Tapi kalau varianmu kurang responsif? Vanilla itu mungkin hilang di antara aroma lainnya, dan kamu justru fokus ke rasa lain.
Hal yang sama berlaku untuk linalool (lavender, bergamot), caproic acid (cheesy, waxy), atau fenchone (minty, fennel). Perbedaan genetik ini menciptakan peta rasa pribadi yang unik untuk setiap orang.
Apa Artinya untuk Pecinta Kopi?
- Perbedaan bukan kesalahan.
Kalau dua orang memberi deskripsi rasa yang berbeda, itu bukan berarti salah satunya salah. Mereka mungkin memang mencium dunia dengan cara yang berbeda. - Flavor wheel itu panduan, bukan kebenaran mutlak.
Roda rasa membantu kita berbicara bahasa yang sama, tapi kenyataannya lidah dan hidung kita tidak identik. - Marketing kopi bisa lebih inklusif.
Saat menulis tasting notes, deskripsi ganda (“vanilla / sweet spice”) memberi ruang bagi perbedaan persepsi.
Jembatan Antara Sains dan Cangkir Kopi
Pengetahuan ini membuat sesi cupping lebih seru. Alih-alih berdebat soal siapa yang benar, kita bisa mulai bertanya:
“Aroma apa yang paling menonjol buat kamu?”
dan belajar dari perbedaan itu.
Kopi bukan hanya soal rasa di lidah, tapi juga tentang cerita di balik setiap molekul, setiap reseptor, dan setiap orang yang merasakannya.
Kesimpulannya:
Kalau temanmu tidak mencium vanilla yang kamu rasakan, itu bukan masalah latihan — itu adalah sains. Dan mungkin, justru di situlah keindahan kopi: satu biji, sejuta rasa, dan tak ada dua hidung yang benar-benar sama.
